Bersegera dan Jangan Menunda

Ibnu 'Atha berkata, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!".

Hari itu adalah hari yang teramat bahagia bagi Handzalah bin Abu Amir. Betapa tidak, ia baru saja melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang dicintainya. Saat sedang melaksanakan "kewajibannya" dengan sang istri, terdengar olehnya seruan agar kaum Muslimin bersiap untuk menghadapi kaum kafir Quraisy di Bukit Uhud.

Mendengar seruan itu, Handzalah melompat dari peraduan dan segera bergabung dengan tentara Islam lainnya. Dalam pertempuran di Bukit Uhud tersebut, Hanzhalah bertarung dengan sangat berani. Ia bertemu dengan Abu Shufyan bin Harb. Ketika itu, Hanzhalah dalam posisi di atas dan hendak membunuhnya. Tapi mendadak diketahui oleh Syaddad bin Aus dan ia lebih dahulu membunuhnya. Handzalah pun syahid di jalan Allah.


Segera setelah peperangan usai, Rasulullah SAW menemukan jenazah Handzalah. Beliau bersabda, "Sesunguhnya sahabat kalian (Handzalah) dimandikan oleh malaikat, maka tanyakanlah bagaimana kabar keluarganya". Para sahabat kemudian menemui istri Handzalah. Istrinya berkata, "Ketika mendengar panggilan untuk berperang, suamiku langsung menyambutnya, padahal ia dalam keadaan junub". Mendengar itu, Rasulullah SAW pun berkomentar, "Itulah yang menyebabkan para malaikat memandikan jenazahnya".

Bersegera dan jangan menunda

Entahlah, apakah kita sanggup atau tidak meneladani apa yang dilakukan Handzalah? Terlepas dari sanggup atau tidak, ada satu karakter yang telah ditunjukkan Handzalah, yaitu tidak menunda-nunda. Handzalah tidaklah sendirian. Banyak sahabat dan orang saleh yang sangat haus untuk berbuat kebaikan. Mereka tidak rela bila sedetikpun waktunya berlalu sia-sia. Mereka akan bersegera melakukan sebuah amal, bila amal tersebut telah tiba waktunya. Termasuk meninggalkan amal utama menuju amal yang lebih utama.

Dikisahkan Hasan Al-Banna, misalnya. Suatu ketika salah seorang anaknya sakit keras. Ia dan istrinya benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang anak yang makin memburuk. Pada saat yang bersamaan, datanglah panggilan untuk melayani (berkhidmat) pada umat. Di antara dua pilihan tersebut, Al-Banna memilih yang panggilan kedua. Ia pun meninggalkan anaknya yang tergolek lemah di tempat tidur. Saat itu istrinya berkata, "Tegakah engkau meninggalkan anakmu yang sedang sakit keras?" Al-Banna menjawab, "Apakah ia akan sembuh dengan adanya aku. Padahal penyakit umat di luar sana jauh lebih penting untuk aku tangani!".

Apa yang menyebabkan Handzalah, Hasan Al-Banna, dan orang-orang saleh lainnya begitu bersemangat dalam kebaikan? Sebabnya, mereka berhasil mengatasi rasa takut. Ketakutan adalah salah satu penyebab orang menunda pekerjaan.

Sebenarnya, ada tiga pilihan saat kita dihadapkan pada rasa takut ini, yaitu: menghindarinya, mengharapkannya cepat berlalu, dan melawan rasa takut tersebut dengan segera melakukannya. Orang akan selalu menunda-nunda bila pilihannya jatuh pada nomor satu dan dua. Ia akan mencari seribu satu alasan untuk menghindar dari tugas yang semestinya harus ia lakukan. Pilihan ketiga adalah solusi terbaik dan itulah yang dilakukan Handzalah dan Al-Banna.

Selain itu, mereka pun miliki energi luar biasa untuk berbuat. Energi tersebut lahir dari sebuah impian besar, yaitu keinginan berjumpa dengan Allah SWT. Impian, cita-cita, atau keinginan yang sangat adalah penangkal paling efektif untuk menghancurkan rasa takut dan penundaan. Tampaknya, mereka sangat terinspirasi janji dari Allah SWT, Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 33).

Yang ketiga, mereka tidak dilalaikan dengan angan-angan kosong. Angan-angan kosong di sini adalah harapan akan hadirnya hari esok. Tampaknya mereka sadar bahwa kesempatan untuk syahid sulit untuk terulang kembali. Walaupun kesempatan itu datang, ia tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati; sedang sehat atau sakit. Benar bila Islam melarang menunda tugas saat ini ke "sebentar lagi", juga amal ini ke "esok". Sebab, kita tidak tahu apa yang ada di balik "sebentar", "esok", atau "nanti" itu.

Ada hikmah menarik dari Imam Ali RA. Ia melukiskan bahwa "saat" itu hanya ada tiga, yaitu (yang) berlalu dan tak dapat diharapkan lagi, maka jadikanlah ia sebagai pelajaran; (yang) kini pasti adanya, jadikanlah ia peluang; dan yang akan datang, tapi ingatlah, boleh jadi ia akan menjadi milik orang lain. Pegang yang pasti, jangan diperdaya oleh esok, dan jangan pula menghadirkan keresahan esok ke hari ini. Karena, yang demikian itu hanya akan menambah beban diri. "Tahukah Anda bagaimana waktu mencuri usia manusia?" demikian seorang bijak bertanya dengan nada retoris. Ia menjawab, "Waktu mencurinya melalui hari esok yang melalaikannya tentang hari ini (dengan menunda), sampai usianya habis".

Bersegera dan tidak menunda adalah cerminan pribadi seorang Muslim. Tepatnya, cerminan dari orang yang sadar akan hakikat waktu. Waktu itu cepat sekali berlalunya. Sekali berlalu, ia tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah tergantikan. Karena itu, waktu menjadi harta termahal yang dimiliki manusia, sehingga menggunakannya dengan cara yang tepat menjadi sebuah kewajiban.

Ada tiga alasan kenapa Allah dan Rasul-Nya mewajibkan manusia untuk tidak menunda sebuah pekerjaan. Pertama, tidak ada jaminan kita bisa hidup hingga esok hari. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok (QS Luqman [31]: 34). Siapakah yang dapat menjamin kita bisa hidup hingga besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan; padahal kematian begitu dekat dengan tiap manusia. Seorang penyair berkata, "Selesaikan pekerjaanmu hari ini, jangan menunggu besok. Siapa yang akan menanggung perkaramu di esok hari?"

Kedua, dalam setiap waktu ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak ada waktu yang kosong dari aktivitas. Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan berlipat-lipat bagi yang melakukannya. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.

Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"

Ketiga, baik bersegera ataupun menunda yang terus dilakukan akan menjadikan jiwa terbiasa melakukannya. Tidak akan pernah menjadi penunda "kelas berat", kecuali diawali dengan menunda kecil-kecilan dalam intensitas yang tinggi. Kebiasaan menunda akan menjadi tabiat kedua yang akan sulit ditinggalkan. Karena itu, Allah SWT melarang hamba-Nya melalaikan waktu sedikitpun, termasuk menunda pekerjaan. Allah SWT berfirman, sesungguhnya orang Mukmin itu apabila berbuat dosa akan ada di dalam hatinya bintik hitam, seandainya ia bertobat, maka akan hilang bintik hitamnya; dan apabila ia menambah niscaya akan bertambah (bintik hitam tersebut), sehingga akan menutup hatinya (QS Al-Muthafiffin [83]: 14). Wallahu a'lam bish-shawab.(ems)

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar