Kepribadian yang Terpecah

Allah SWT berfirman, ''Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.'' (Al-Baqarah: 138).

Firman Allah tersebut menggambarkan kepada kita bahwa ajaran Islam yang bersumberkan wahyu-Nya adalah ibarat celupan yang memberikan warna kepribadian pada kehidupan seseorang. Seperti halnya celupan pakaian yang mengubahnya dari asalnya putih menjadi berwarna, sesuai dengan warna celupannya. Totalitas kehidupan seorang Muslim seharusnya terwarnai (ter-shibghah) oleh ajaran Islam yang memiliki karakter syumuliyah (komprehensif, mencakup semua bidang kehidupan).

Setiap Muslim harus men-shibghah-islamiyyah, cara berpikirnya, perkataannya, pergaulannya, politiknya, bahkan cara memimpinnya ketika ia mendapatkan amanah kepemimpinan. Kepribadiannya utuh dan satu, tidak terpecah dalam segmen-segmen kehidupan yang terpisah antara satu bagian dan bagian lainnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah, ''Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.'' (Al-Baqarah: 208).


Dalam realitas kehidupan, betapa kita kaum Muslimin sering memiliki kepribadian yang terpecah (split personality) dalam mengaplikasikan dan mengimplementasikan ajaran Islam. Ketika di masjid shalat berjamaah, suasana ukhuwah Islamiyah begitu terasa. Tetapi, begitu terjun dalam dunia politik, begitu mudahnya kita tercabik-cabik dalam bingkai pragmatisme sesaat. Saling menghina, saling menggunting dalam lipatan, saling menuduh, dan saling memfitnah, dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa.

Ketika dalam shalat kita membaca doa iftitah, mengikrarkan janji bahwa sesungguhnya, ''Shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabbul 'Alamin.'' Namun, dalam praktik kehidupan, kadangkala kita menghalalkan segala macam cara untuk meraih jabatan, materi, dan kedudukan. Kesenangan duniawi kita jadikan sebagai tujuan akhir, dan bukannya sebagai sarana atau wasilah kehidupan. Kejujuran pada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan kepada Allah SWT yang dibangun melalui ibadah shaum, misalnya, ternyata hilang di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia yang serbamaterialis. Buktinya, kejujuran pada saat ini bukan lagi menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi, akan tetapi hanyalah dianggap sebagai ungkapan verbalistik yang tidak perlu direalisasikan dalam kenyataan.

Pujian diberikan kepada orang yang berhasil secara lahiriyah, tanpa perlu diketahui bagaimana proses mendapatkannya. Jika hal ini terus-menerus berlangsung, maka kehinaan dan keterpurukan akan menimpa masyarakat dan umat kita. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Al-Baqarah: 85, ''Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab, dan ingkar pada sebagiannya lagi? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.''

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar